Sejarah Ketoprak - Ketoprak merupakan salah satu kesenian rakyat di Jawa Tengah yang cukup digemari oleh masyarakat setempat. Ketoprak lahir di Solo sekitar akhir abad XIX dan awal abad XX. Ada pula yang mengatakan bahwa ketoprak berasal dari kota Yogyakarta.
Hatley (2008: 19-20) merujuk pendapat Wijaya dan Sutjipto tentang sejarah awal lahirnya ketoprak. Dikatakan bahwa ketoprak muncul pada pertengahan akhir abad XIX di daerah pedalaman antara kota Surakarta dan Yogyakarta. Pada sekitar tahun 1977, ketoprak mulai dikembangkan sebagai bentuk hiburan musikal di beberapa daerah di Jawa, yang dipentaskan pascapanen atau dalam suatu perayaan masyarakat. Musik kothekan digunakan untuk mengiringi pertunjukan tersebut, yaitu dengan menggunakan lesung dan alu. Pertunjukan tersebut dilangsungkan pada malam hari. Satu atau dua orang memukul lesung, beberapa orang memanggil penduduk desa yang lain, beberapa orang yang datang ikut memukul lesung, dan ada pula yang menari. Awal mulanya seperti itu. Lalu pada akhir abad XIX diberi cerita sederhana. Alat musik pun diperbanyak dengan menambahkan kendang, seruling, dan tamburin.
Hatley tidak bisa memastikan apakah pertunjukan tersebut sudah disebut ketoprak atau belum. Hanya disebutkan bahwa istilah ketoprak diambil dari suara pukulan (kethok) yang menghasilkan suara prak prak prak yang berirama.
Menurut sumber lain, nama ketoprak memang diambil karena iringan musiknya berbunyi “prak” sehingga dipakailah nama ketoprak. Konon, bunyi “prak” dihasilkan dari alat musik yang bernama “tiprak”.
Tidak banyak sumber resmi yang dapat dirujuk untuk mendeteksi definisi ketoprak. Jakob Soemardjo (1992: 60-62) hanya menyebutkan asal muasal ketoprak serta unsur-unsurnya tanpa memberikan definisi yang pasti tentang pertunjukan ketoprak. Menurutnya, ketoprak lahir sebagai sebuah kebiasaan masyarakat memainkan alat musik, bernyanyi, dan menari. Kebiasaan tersebut lalu diolah sedemikian rupa seiring dengan perjalanan waktu menjadi sebuah pertunjukan yang dinamakan ketoprak. Sumber lain mengatakan bahwa ketoprak adalah kesenian tradisional yang berupa pementasan drama yang mengangkat cerita-cerita tertentu, biasanya kisah legenda.
Ketoprak dianggap sebagai kesenian rakyat yang tidak adiluhung. Artinya, kesenian ini merupakan kesenian masyarakat rendah. Berbeda dengan kesenian wayang yang memang sangat adiluhung karena merupakan kesenian yang sangat digemari di kalangan kerajaan. Hatley (2008: 18) mengatakan “Ketoprak had no such courtly aura.” Hal ini disebabkan karena ketoprak dipentaskan dengan menyajikan cerita-cerita legenda dan kerajaan pada masa lalu dalam bentuk tradisi lisan yang berkembang di lapisan masyarakat rendah dengan menyampaikan tema-tema yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut dan dikemas secara lucu.
Eko Santosa, dkk (2009: 30) mengatakan bahwa salah satu unsur yang paling menonjol dalam ketoprak adalah penggunaan unggah-ungguh bahasa Jawa. Di sana ada tiga tingkatan bahasa Jawa yang digunakan, yaitu ngoko (biasa), krama, dan krama inggil.
Kasim Ahmad sebagaimana dikutip oleh Herman J. Waluyo (2006: 73) mengklasifikasikan teater tradisional menjadi tiga, yaitu teater rakyat, teater klasik, dan teater transisi. Sementara ketoprak masuk dalam kategori teater rakyat. Disebutkan pula bahwa salah satu sifat teater rakyat adalah improvisasi, sederhana, spontan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat.
Dalam tulisannya yang lain, Kasim Ahmad (1999: 267) menyebutkan ciri-ciri teater tradisional yang lain. Salah satu ciri yang esensial dari teater tradisional ialah proses kreatifnya yang didukung oleh sistem kebersamaan, tidak ada penonjolan ndividu sebagai pencipta karya. Teater tradisional didasarkan pada intuisi para pemainnya. Ciri penting yang lain dalam teater tradisional yaitu konsep pertunjukan yang multi media ekspresi yang terpadu.
Berdasarkan uraian di depan, dapat dipahami bahwa ketoprak merupakan salah satu kesenian tradisional (teater rakyat) yang lahir dan berkembang di Jawa Tengah yang mengetengahkan cerita-cerita kehidupan rakyat, juga sering berupa cerita legenda, dipadukan dengan unsur tarian, tembang, dan iringan musik.
Ketoprak “Kridho Pambudiraharjo"
Kebudayaan tradisional merupakan akar dari refleksi perkembangan peradaban kehidupan masyarakat di dunia, begitu pula di Indonesia . Indonesia yang memiliki kurang lebih tiga ratus suku bangsa yang masing-masing memiliki kebudayaan tradisional yang unik/khas telah lama menjadi sorotan bangsa-bangsa lain yang menganggap Indonesia sebagai tempat yang paling sesuai untuk menjadi tujuan wisata dan penelitian kebudayaan. Adanya arus modernisasi , dikuatirkan akan mengikis wujud kebudayaan tradisional yang seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan sebagai salah satu kekayaan nasional bangsa Indonesia. Persoalan yang kemudian timbul adalah ketika fenomena ini dihadapkan pada realita masyarakat yang cenderung tidak memiliki keantusiasan dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan tradisional yang dimilikinya. Demam globalisasi seolah-olah membuat masyarakat lupa bahwa mereka memiki harta yang tak ternilai harganya.
Pada Hari Senin (26/08/2013) Masyarakat Padukuhan Pager, Desa Logandeng, Kecamatan, Playen, Kabupaten Gunungkidul Sebagai wujud dan aksi nyata dalam usaha-usaha pelestarian budaya akan menyelenggarakan PESTA RAKYAT DAN GELAR BUDAYA, dimana, dalam kegiatan ini akan menampilkan berbagai kesenian tradisional diantaranya Ketoprak
“Kridho Pambudiraharjo" yang semua pemainnya merupakan warga dari Desa Logandeng dengan menampilkan bintang tamu RABIES.
Antusias warga dalam menyaksikan pertunjukan ketoprak ini sangat luar biasa, dari berbagai wilayah di sekitar Padukuhan Pager berbondong-bondong untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.