Suhardi, Kepala Desa Logandeng menginformasikan, kegiatan tersebut adalah dalam rangka tasyakuran puncak bersih desa. Ki Seno Nugroho diminta membeberkan lakon Tumuruning Wahyu Katentreman.
"Alasan pemilihan lakon tersebut sangat sederhana. Desa Logandeng yang terdiri atas 10 padukuhan dalam hal rasulan selalu terbelah dua. Lima padukuhan bagian utara rasulan hari Senin Pahing, sementara separuhnya di belahan selatan rasulan hari Senin kliwon. Pentas wayang di balai desa merupakan simbol penyatuan kedua belah pihak," papar Suhardi.
Ki Seno Nugroho, dalang muda berparas ganteng, pada episode cangik dan limbuk melaksanakan perintah Suhardi sedemikian baik dan tertib. Melalui tembang karya Gesang, diselingi parikan oleh 10 pesinden berseragam serba merah muda mendoakan agar masyarakat Logandeng wareg, waras dan wasis.
Luar biasa, kata Ki Seno Nugroho, masyarakat Logandeng kedatangan tamu istimewa dari negeri Sakura, Jepang.
"Sampean nyinden pun pinten tahun Mbak (Kamu sudah menjadi penyanyi Jawa berapa tahun Mbak?)" demikian ki dalang menyapa Hiromi Kano, pesinden asal Chiba, Tokyo, Jepang itu.
Dengan bahasa Jawa yang relatif lancar, Hiromi menjawab,"Kula wonten Indonesia pun gangsal welas tahun. Sak niki manggen wonten Karanganyar, Solo. (Saya tinggal di Indonesia sudah 15 tahun. Sekarang tinggal di Karanganyar, Solo)."
Ratusan penonton tak bisa menahan tawa saat Ki Seno bertanya sedikit nakal, "Nek nyinden, sampeyan nate kepoyoh (kebelet pipis)?"
Gerrrr.... penonton tertawa, sementara Hiromi bingung. Dia tidak paham kosakata kepoyoh. Tetapi setelah dijelaskan, dia pun ikut tertawa.
Tepuk tangan menggemuruh ketika Hiromi melantunkan gending dolanan Caping Gunung didahuhlui dengan bowo gaya jenggleng. Sebanyak 9 pesinden lain yakni Tiwi, Agnes, Endah, Ayu, Tatin, Neti, Wahyu, Prastiwi, dan Sudiyati ikut menikmati suara Hiromi Kano.
Diperoleh keterangan pentas wayang semalam suntuk tersebut menelan dana Rp 60 juta. Semua murni swadaya masyarakat dan donatur.